PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH
(STUDi EMPIRIS PADA KABUPATEN/KOTA WILAYAH JAWA
TENGAH TAHUN 2012-2014)
Yuli Tri Cahyono
Resi Intan Penatari
Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email:
remponggosong@gmail.com
ABSTRACT
In the local
expenditure can’t be loose from acceptance source, either balance of fund,
regional loan, or regional income. Balance of fund is a funding sourced from
APBN consisting of divide income fund, general allocation fund, and special
allocation fund, while regional income is a funding sourced from regional.
Purpose of this research is to get evidence empirically about the influence of
DAU, DAK, and PAD with local expenditure.
This research
used quantitative research. In this research used taking sample method is
saturation sample that is all of population made a research sample. Sample of
this research amount to 29 regencies and 6 cities in Central Java Province. In
this research used multiple regression analysis.
Result of this
research shows that DAU and PAD influence significant statistic with local
expenditure at the 0.05 rate of significancy and DAK not influence significant
with local expenditure.
Keywords:
General Allocation Fund, Special
Allocation Fund, Regional Income, Local Expenditure
A. PENDAHULUAN
Sesuai dengan
amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diharapkan dapat mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dari waktu kewaktu.
Sebagaimana
diketahui, konsep dasar otonomi daerah adalah pemerintah pusat memberikan
kewenangan kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan
daerah. Dengan kewenangannya, daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan
kelebihan dan insentif kegiatan ekonomi, dan pembangunan daerah.
Diberlakukannya
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Diharapkan pemerintah
daerah mampu mendorong upaya menggerakkan perekonomian dengan menggunakan
pengeluaran pembangunan secara efiktif dan efisien (Nordiawan dan Ayuningtyas
2010:25).
Dalam
pembelanjaan daerah tidak lepas dari sumber penerimaan, baik berupa dana
perimbangan, pinjaman daerah, maupun pendapatan asli daerah. Dana perimbangan
merupakan pendanaan yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), sedangkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendanaan yang bersumber dari daerah.
Berdasarkan UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah
daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan kepada pemerintah
daerah.
Menurut
penelitian Prakosa (2004), transfer merupakan konsekuensi dari tidak meratanya
kemampuan keuangan dan ekonomi daerah. Tujuan dari transfer ini adalah untuk
mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintahan dan menjamin tercapainya
standar pelayanan publik minimum di seluruh daerah.
Salah satu
fenomena yang mencolok dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan
pembelanjaan daerah adalah ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini
terlihat dari relatif rendahnya PAD dan dominannya transfer dari pusat
(Kuncoro, 2009:371).
Penelitian Nugraeni (2011) menyatakan bahwa terdapat
keterkaitan pemerintah daerah dalam menyusun APBD masih mengandalkan dana
transfer dari pemerintah pusat. Secara spesifik Nugraeni menegaskan bahwa dari
ketiga variabel tersebut yang paling kuat hubungannya dengan belanja daerah
adalah DAU.
Menurut UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 1 ayat (16) belanja daerah
merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah
dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi/kabupaten/kota. Hubungan dalam bidang keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 15 ayat (1) huruf b adalah
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan
tersebut terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana
alokasi khusus (DAK).
DAU adalah salah
satu cara untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah karena kemampuan
setiap daerah berbeda-beda. Pemberian DAU diprioritaskan pada daerah yang
pendapatan fiskalnya rendah, sehingga pada pemerintah daerah yang pendapatan
fiskalnya tinggi akan mendapatkan bagian transfer yang lebih rendah.
Dalam mengelola
keuangannya, seharusnya pemerintah daerah meningkatkan sumber penerimaan daerah
yang berasal dari PAD dengan mengoptimalkan potensi, kreatifitas, dan kemampuan
daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah mampu membiayai usaha-usaha dan
pembangunan daerah secara mandiri sehingga tidak menggantungkan dana dari
pemerintah pusat.
Dengan adanya
peningkatan PAD, masyarakat mengharap adanya peningkatan pelayanan terutama di
sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan mampu meningkatkan
daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di kabupaten/kota wilayah Jawa
Tengah. Harapan ini bisa terwujud apabila ada upaya dari pemerintah memberikan
fasilitas pendukung investasi. Pemerintah perlu memberikan alokasi belanja
daerah yang lebih besar untuk hal itu. Apabila investor mau menanamkan modalnya
di kabupaten/kota di Jawa Tengah, maka PAD kabupaten/kota di Jawa Tengah akan
meningkat.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh DAU, DAK, dan
PAD terhadap belanja daerah kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah.
B. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1.
Pengertian Otonomi Daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya
sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Wajong (1975)
yang dikutip oleh Yuwono (2008:14) otonomi daerah diartikan sebagai kebiasaan
untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan
sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri. Mubyarto
(2000:60) mendefinisikan bahwa pada hakikatnya penyerahan wewenang segala
urusan pemerintah ke kabupaten/kota, sehingga diharapkan pemerintah
kabupaten/kota dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam
menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan roda
pemerintahan secara efisien dan efektif, mampu mendorong peran serta masyarakat
dalam pembangunan, serta meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan dalam
bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi
otonomi daerah.
Dari beberapa
definisi tersebut dapat ditarik simpulan bahwa otonomi daerah merupakan
pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga
terciptanya kemandirian serta kreatifitas pada pemerintah daerah.
2.
Pengertian APBD. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan
daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Yuwono dkk 2005:92). APBD di satu
sisi menggambarkan anggaran pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran dan di sisi lain menggambarkan
penerimaan dari sumber-sumber penerimaan daerah guna membiayai
pengeluaran-pengeluaran yang telah dianggarkan. Proses penyusunan anggaran
melibatkan dua pihak yaitu eksekutif dan legislatif.
Menurut Pasal 3
ayat 4, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, APBD
memiliki fungsi yaitu:
a.
Otorisasi
b.
Perencanaan
c.
Pengawasan
d.
Alokasi
e.
Stabilisasi
Berdasarkan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, struktur APBD terdiri atas pendapatan daerah,
belanja daerah, serta pembiayaan dan transfer. Adapun penjalasannya adalah
sebagai berikut:
a.
Pendapatan
daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran.
b.
Belanja
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak
akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.
c.
Transfer
adalah penerimaan/pengeluaran uang dari suatu entitas pelapor dari/kepada
entitas pelapor lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil (PP Standar
Akuntansi Pemerintahan No. 29 Tahun 2005).
d.
Pembiayaan
adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara
pendapatan dan belanja daerah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002).
3. Pengertian DAU. DAU adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah, dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai dengan prioritas nasional. DAU merupakan komponen terbesar dalam dana
perimbangan untuk menciptakan pemerataan daerah. Dalam mengurangi ketimpangan
mengenai kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat serta daerah,
DAU ditetapkan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri neto. (Yuwono 2008:50).
DAU
untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan
pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang formula dan perhitungan DAU-nya ditetapkan sesuai
Undang-Undang. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 tahun 2006
tentang Pedoman Penyusunan APBD bahwa penggunaan DAU agar diprioritaskan
penggunaannya untuk mendanai gaji-tunjangan, kesejahteraan pegawai, kegiatan
operasi-pemeliharaan, dan pembangunan fisik sarana-prasarana dalam rangka
peningkatan pelayanan dasar, serta pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat.
Menurut
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan
dengan menggunakan pendekatan konsep celah fiskal dan alokasi dasar. Celah
fiskal dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal daerah.
DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi akibat adanya kebutuhan daerah
yang melebihi potensi penerimaan daerah.
4.
Pengertian DAK.
Pada hakikatnya DAK adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus sebagai urusan daerah dan
sesuai prioritas nasional. Menurut UU No. 33 tahun 2004, yang dimaksud
kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan tidak sama dengan
kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan
beberapa jenis investasi/prasarana baru, kebutuhan yang merupakan komitmen atau
prioritas nasional (Yuwono 2008:51).
Menurut
penelitian Permanasari (2013), pengalokasian DAK memperhatikan ketersediaan
dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran DAK tidak dapat dipastikan setiap
tahunnya. DAK diberikan kepada daerah apabila daerah menghadapi masalah-masalah
khusus.
5.
Pengertian PAD.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004 PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut jenis
pendapatan daerah, PAD terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah (Yuwono
2008:94). PAD sebagai sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan
agar dapat menanggung sebagaian beban belanja yang diperlukan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun
meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab dapat dilaksanakan.
Penelitian
Rasidah (2011) menyatakan bahwa PAD mencerminkan kemandirian suatu daerah dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. PAD setiap daerah berbeda-beda. Daerah yang
memiliki kemajuan di bidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah
cenderung memiliki PAD yang lebih besar di banding daerah lainnya, begitu juga
sebaliknya. Di satu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki PAD yang
tinggi dan di sisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang
rendah.
6.
Pengertian Belanja Daerah. Belanja Daerah merupakan semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang dapat mengakibatkan berkurangnya
nilai ekuitas dana sebagai kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran serta
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah (Yuwono 2008:96).
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri
dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang
tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah
daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan.
7.
Penelitian Terdahulu. Yansen (2013) melakukan penelitian mengenai
pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja daerah dengan jumlah sampel 15 kabupaten di wilayah
Sumatera Selatan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier
berganda dan korelasi untuk menguji hipotesis asosiatif. Dalam penelitiannya diperoleh
hasil bahwa DAU dan PAD di wilayah Sumatera Selatan secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap belanja daerah, namun secara simultan keduanya tidak
berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah.
Rasidah dan
Rizani (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, PAD,
DAU, dan DAK pada belanja daerah dengan jumlah sampel 13 kabupaten di wilayah
Kalimantan Selatan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis linier
berganda. Dari penelitiannya diperoleh hasil bahwa PAD, DAU, dan DAK secara
parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah.
Nugraeni (2011)
melakukan penelitian pengaruh DAU, DAK, dan PAD terhadap belanja daerah tahun
2007-2009 studi kasus pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia,
dengan jumlah sampel 295 kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan alat
analisis linier berganda, yang mana dari penelitiannya menunjukkan hasil, bahwa
DAU dan PAD berhubungan positif secara signifikan terhadap belanja daerah
sedangkan DAK tidak berpengaruh terhadap belanja daerah.
Kurniawati
(2010) melakukan penelitian pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja pemerintah
daerah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia dengan jumlah sampel 228
kabupaten/kota. Penelitian ini menggunkan alat analisis regrasi berganda. Dari
penelitiannya diperoleh hasil, bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan
terhadap belanja daerah.
Setiawan (2010)
melakukan penelitian pengaruh DAU dan PAD terhadap belanja daerah tahun
2005-2007 studi kasus pada kota dan kabupaten di provinsi Jawa Tengah dengan
sampel 35 daerah di provinsi Jawa Tengah. Alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah regresi berganda. Dalam penelitiannya diperoleh hasil
bahwa DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja daerah di provinsi Jawa
Tengah pada tahun tersebut.
8.
Hipotesis Penelitian. DAU merupakan sumber pendapatan penting
bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya dan sekaligus dapat menunjukkan
tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin banyak DAU yang diterima berarti
daerah tersebut masih sangat tergantung terhadap Pemerintah Pusat dalam
memenuhi belanjanya. Hal ini menggambarkan bahwa DAU mempunyai pengaruh
terhadap Belanja Daerah.
H1: DAU
berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap belanja daerah di
kabupaten/kota wilayah Jawa Tengah.
DAK merupakan
sumber pendapatan yang dialokasikan dari APBN kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan khusus lain dari alokasi umum, misalnya pembangunan jalan di kawasan
terpencil, sarana-prasarana untuk daerah. Semakin banyak DAK yang diterima,
berarti daerah tersebut masih tergantung terhadap pemerintah pusat. Hal ini
menunjukkan bahwa DAK mempunyai pengaruh terhadap Belanja Daerah.
H2: DAK
berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap belanja daerah di
kabupaten/kota wilayah Jawa Tengah.
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam
memenuhi belanjanya dan sekaligus dapat menujukkan tingkat kemandirian suatu
daerah. Semakin besar PAD, berarti semakin besar daerah tersebut mampu memenuhi
kebutuhan belanjanya sendiri, tanpa harus tergantung pada Pemerintah Pusat. Hal
ini menggambarkan bahwa PAD mempunyai pengaruh terhadap Belanja Daerah.
H3: PAD
berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap belanja daerah di
kabupaten/kota wilayah Jawa Tengah.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yaitu suatu metode yang
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang luas dari suatu populasi, menguji
hipotesis penelitian, dan menunjukkan hubungan antar variabel. Populasi dalam
penelitian ini adalah data DAU, DAK, PAD, dan Belanja Daerah kota dan kabupaten
di Provinsi Jawa Tengah yang meliputi 29 daerah kabupaten dan enam daerah kota
sehingga total populasi adalah 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode Non Propabillity Sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi
setiap unsur atau anggota populasi untuk menjadi sampel dalam penelitian.
Metode Non Propabillity Sampling yang
digunakan adalah Sampling Jenuh. Menurut Sugiyono (2009:122) sampling jenuh
yaitu teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel. Penelitian ini mengambil data pada tahun 2012-2014, dengan jumlah
sampel sebanyak 35 daerah, sehingga jumlah sampel penelitian keseluruhan
menjadi 3 x 35 = 105 data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
yang bersumber dari dokumen APBD serta laporan realisasi APBD yang diperoleh
dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah tahun anggaran 2012-2014 melalui www.depkeu.djpk.go.id.
Operasionalisasi
variabel adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel yang diukur.
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada empat yaitu DAU, DAK, dan
PAD sebagai variabel bebas, dan Belanja Daerah sebagai variabel terikat. Adapun
definisi operasional dan pengukuran variabel adalah sebagaimana tercantum dalam
tabel 1.
Tabel 1. Operasionalisasi
Variabel
No
|
Variabel
|
Definisi
|
Indikator
|
1.
|
Dana Alokasi Umum
(DAU) (X1)
|
Dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
|
Pendanaan
untuk desentralisasi.
|
2.
|
Dana Alokasi Khusus
(DAK)
(X2)
|
Dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus sebagai urusan daerah dan sesuai prioritas nasional.
|
Kebutuhan
di kawasan transmigrasi, kebutuhan investasi, sarana-prasarana baru.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) (X3)
|
Pendapatan
yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.
|
1.
Pajak daerah
2.
Retribusi daerah
3.
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4.
Lain-lain PAD yang sah
|
4.
|
Belanja Daerah
(Y)
|
Kewajiban
Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan.
|
1.
Belanja operasi
2.
Belanja modal
3.
Belanja tidak terduga
4.
Belanja transfer
|
Sumber: UU No. 33 Tahun 2004.
Analisis data dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji asusmsi
klasik dan uji hipotesis. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Uji Asumsi Klasik. Uji asumsi
klasik digunakan untuk menghasilkan data yang akurat sehingga tidak terjadi bias.
Untuk uji asumsi klasik dalam penelitian ini meliputi uji normalitas, uji
autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas. Adapun
penjelasan masing-masing uji adalah sebagai berikut:
a.
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk nengetahui
apakah dalam sebuah model regresi, variabel-variabelnya berdistribusi normal
atau tidak (Ghozali, 2011:160). Model regresi yang baik adalah memiliki
distribusi data normal atau data mendekati normal. Pengujian ini dilakukan
dengan menggunakan metode Kolmogrov-Smirnov.
Hasil pengujian ini dibandingkan dengan nilai signifikansi yang telah
ditentukan yaitu sebesar 5% atau 0,05. Jika nilai probabilitas yang diperoleh
lebih besar dari 0,05, maka data tersebut terdistribusi normal. Sebaliknya jika
nilai probabilitas yang diperoleh kurang dari 0,05, maka data tersebut tidak
terdistribusi normal.
b.
Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji
apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya t-1 (Ghozali,
2011:110). Model regresi yang baik dalam pengujian ini adalah yang bebas dari
autokorelasi. Untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi digunakan metode Durbin-Waston yaitu dengan kriteria du < d < 4 – du, yang
artinya tidak ada autokorelasi positif/negatif. Jika model regresi 0 < d < dl, maka dapat diketahui bahwa terdapat autokorelasi positif dalam
pengujian. Dalam hal ini du merupakan
batas atas Durbin-Waston dan dl adalah batas bawah Durbin-Waston.
c.
Uji
Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
(Ghozali, 2011:139). Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas.
Dalam penelitian ini untuk menguji ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah
dengan menggunakan uji Glesjer. Hasil dari uji heteroskedastisitas adalah
apabila nilai signifikan yang diperoleh > 0,05, maka tidak ada masalah heteroskedastisitas.
Sebaliknya, jika nilai signifikan yang diperoleh < 0,05, maka terdapat
masalah heteroskedastisitas.
d.
Uji
Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk
menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di
antara variabel independen (Ghozali, 2011:105). Hasil uji multikolinearitas
dapat ditunjukkan dengan nilai varian
inflation factor (VIF) dan tolerance value dari tiap-tiap variabel
independen. Suatu model regresi menunjukkan tidak terjadi gejala
multikolinearitas jika nilai VIF di
bawah 10 dan tolerance value di atas
0,1. Sebaliknya, jika nilai VIF di
atas 10 dan tolerance value di bawah
0,1, maka terjadi gejala multikolinearitas. Jika tingkat kolinearitasnya tinggi
tetapi tidak sempurna, maka penaksiran koefisien regresinya adalah mungkin,
tetapi kesalahan standarnya cenderung besar. Sedang hasil nilai populasi dan
koefisiennya tidak dapat ditaksir dengan tepat.
2. Uji Hipotesis. Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan analisis regresi
linier berganda, yaitu untuk menghubungkan beberapa variabel independen dengan
satu variabel dependen
Analisis
regresi dinyatakan valid apabila data terdistribusi secara normal dan bebas
dari heteroskedastisitas serta multikolinearitas. Adapun model
persamaan dari regresi linear berganda dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Y = ɑ + ß1X1 + ß2X2 + ß3X3 + ß4X4 + e
Keterangan:
Y = Belanja Daerah
É‘ = Konstanta
X1 = DAU
X2 = DAK
X3 = PAD
ß1 ß2 ß3 = Koefisien regresi
e =
error
Dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan
pengujian-pengujian:
a.
Uji F (Uji
Ketepatan Model)
Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali,
2011:98). Tujuan dari pengujian F adalah selain untuk mengetahui apakah variabel
independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan, juga untuk
mengetahui apakah model regresi fit atau tidak. Apabila dalam pengujian
diperoleh nilai signifikansi < 0,05 dan Fhitung > Ftabel, maka model
regresi dikatakan baik (fit of goodness)
dan variabel independen secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen, sedangkan jika nilai signifikansi > 0,05 dan Fhitung <
Ftabel, maka model regresi dikatakan kurang baik (fit of badness) dan variabel independen berpengaruh tidak
signifikan terhadap variabel dependen.
b.
Uji t (Uji
Parsial)
Uji statistik t pada dasarnya
menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual
dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011:98). Apabila dalam
pengujian diperoleh nilai thitung > ttabel, maka Ha diterima, sehingga
disimpulkan bahwa variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
Sebaliknya apabila dalam pengujian diperoleh nilai thitung < ttabel, maka Ha
ditolak, yang berarti variabel independen tidak signifikan terhadap variabel
dependen (Algifari, 2000:70).
c.
Uji Koefisien
Determinasi (R²)
Uji koefisien determinasi (R²) digunakan
untuk mengetahui presentase pengaruh semua variabel independen terhadap nilai
variabel dependen. Uji koefisien determinasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Adjusted-R² atau R². Nilai
R² dikatakan baik apabila R² di atas 0,5, karena besarnya koefisien adalah
antara 0 dan 1, yang mana jika mendekati angka satu, maka dikatakan signifikan
(Algifari 2007:71).
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Uji Asumsi
Klasik
a.
Uji Normalitas
Uji
normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S), adapun hasil sebagaimana tercantum dalam tabel 2.
Tabel
2. Hasil Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov (K-S)
|
Nilai Probabilitas
|
Keterangan
|
0,619
|
0,838
|
Berdistribusi Normal
|
Sumber data:
Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,619
dan nilai sig. sebesar 0,838. Oleh karena nilai signifikansi lebih besar 0,05, maka
hasil tersebut dinyatakan berdistribusi normal.
b.
Uji Autokorelasi
Uji
autokorelasi untuk mengetahui apakah dalam model regresi linear ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada periode t-1 sebelumnya, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan uji Durbin-Watson
(DW test), adapun hasilnya sebagaimana tercantum dalam tabel 3.
Tabel
3. Hasil Uji Autokorelasi
Nilai DW-hitung
|
Kriteria
|
Keputusan
|
1,913
|
1,613 < 1,913 < 1,736
|
Tidak ada autokorelasi baik positif atau negatif
|
Sumber
data : Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan
tabel 3 tersebut dengan menggunakan derajat kesalahan (α) =5%, dengan prediktor
sebanyak 2 maka batas atas (U) adalah sebesar 1,613 sedang batas bawah (L)
adalah sebesar 1,736 Karena nilai DW
hasil regresi adalah sebesar 1,913 yang berarti lebih besar dari nilai batas
bawah, maka koefisien autokorelasi lebih besar dari 0. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hasil regresi tersebut terbebas dari masalah autokorelasi.
c.
Uji
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan di mana
varians (dalam hal ini varians residual) tidak stabil (konstan).
Heteroskedastisitas dapat pula terjadi bilamana efek variabel independen
terhadap variabel dependen berbeda pada dua kelompok sampel yang berbeda. Uji
heteroskedastisitas menggunakan uji glejser,
adapun hasilnya sebagaimana tercantum dalam tabel 4.
Tabel
4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel
|
Sig.
|
Keterangan
|
DAU
|
0,155
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
DAK
|
0,425
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
PAD
|
0,484
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
Sumber
data: Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan hasil tabel 4 diketahui bahwa
dengan uji glejser yang dilakukan
dengan cara mengabsolutkan nilai residual, kemudian hasil absolute residual
diregresikan dengan variabel independen, apabila signifikan diperoleh lebih
dari 0,05, maka dengan demikian hasil dari masing-masing variabel dinyatakan
tidak terjadi adanya heteroskedastisitas.
d.
Uji
Multikolinearitas
Untuk
melihat ada atau tidaknya multikolinearitas dalam model regresi dapat dilihat
dari (1) nilai toleran dan lawannya (2) variance
inflation factor (VIF), jika
terdapat gejala multikolinearitas maka nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10, adapun hasil analisis dapat ditunjukkan sebagaimana
dalam tabel 5.
Tabel
5. Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel
|
Tolerance
|
VIF
|
Keterangan
|
DAU
|
0,361
|
2,769
|
Tidak
terjadi multikolinearitas
|
DAK
|
0,414
|
2,417
|
Tidak
terjadi multikolinearitas
|
PAD
|
0,416
|
1,397
|
Tidak
terjadi multikolinearitas
|
Sumber data : data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan
hasil tersebut diatas dapat diketahui bahwa nilai tolerance lebih besar
(>0,10) atau sama dengan nilai VIF
lebih kecil dari (<10) maka dapat dikatakan data tersebut tidak terjadi
adanya multikolinearitas.
2.
Uji Hipotesis
a.
Uji Regresi
Linear Berganda
Dalam
penelitian ini megunakan alat analisis regresi linear berganda yang diuji
dengan tingkat signifikan 0,05, analisis ini digunakan untuk mengetahui atau
memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Adapun hasil sebagaimana terlihat dalam tabel 6.
Tabel
6. Hasil Uji Regresi Linear Berganda
Variabel
|
B
|
Std. Error
|
T
|
sig
|
Konstanta
DAU
DAK
PAD
|
-33378,027
1,545
-0,381
1,429
|
34293,436
0,068
0,678
0,091
|
-0,973
22,836
-0,562
15,675
|
0,333
0,000
0,576
0,000
|
R square = 0,957 Fhitung = 748,342
Adjusted R square = 0,956 Sig = 0,000
|
Sumber
data: Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan
tabel 6 dapat disusun model persamaan regresi:
BM
= -3337,027 + 1,545(DAU) - 0,381(DAK) + 1,429(PAD)
Interpretasinya:
1)
Kontanta
sebesar -3337,027 bernilai negatif, yang artinya setiap DAU, DAK, dan PAD
meningkat sebesar satu satuan maka belanja daerah sebesar -3337,027..
2)
Koefisien
DAU sebesar 1,545 dengan tanda positif yang berarti jika variabel DAU meningkat,
maka variabel Belanja Daerah mengalami
peningkatan. sebaliknya jika variabel DAU menurun, maka variabel Belanja Daerah
mengalami penurunan.
3)
Koefisien
DAK sebesar -0,381 dengan tanda negatif yang artinya jika variabel DAK meningkat,
maka variabel Belanja Daerah mengalami
penurunan. Sebaliknya jika variabel DAK menurun, maka variabel Belanja Daerah
mengalami peningkatan.
4)
Koefisien
PAD sebesar 1,429 dengan tanda positif yang artinya jika variabel PAD
meningkat, maka variabel Belanja Daerah mengalami peningkatan. Sebaliknya jika
PAD menurun, maka Belanja Daerah mengalami penurunan.
b.
Uji F
Uji F bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variabel DAU, DAK, dan PAD secara bersama-sama terhadap variabel
belanja daerah. Adapun hasilnya sebagaimana tercantum dalam tabel 7.
Tabel
7. Hasil Uji F
Fhitung
|
Ftabel
|
Sig
|
Keterangan
|
748,342
|
3,15
|
0,000
|
Ha diterima
|
Sumber data: Data sekunder diolah
peneliti, 2015.
Berdasarkan
hasil tersebut di atas diketahui bahwa nilai Fhitung sebesar 748,342
lebih besar dari Ftabel sebesar 3,15, dan didukung dengan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 (a),
maka dengan demikian dapat diketahui bahwa variabel DAU, DAK, dan PAD secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel belanja daerah.
c.
Uji t
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan dari masing-masing
variabel bebas terhadap variabel terikat, adapun variabel bebas meliputi DAU,
DAK dan PAD terhadap variabel terikat adalah belanja daerah , hasilnya
ditunjukkan sebagaimana tercantum dalam tabel 8.
Tabel
8. Hasil Uji t
Variabel
|
thitung
|
Sig
|
ttabel
|
Keterangan
|
DAU
DAK
PAD
|
22,836
-0,562
15,675
|
0,000
0,576
0,000
|
2,000
2,000
2,000
|
H1 diterima
H2 ditolak
H3 diterima
|
Sumber
data: Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan
hasil tabel 8, dapat diinterpretasikan adalah sebagai berikut:
Variabel DAU diketahui nilai thitung (22,836)
lebih besar daripada ttabel (2,000) atau dapat dilihat dari nilai
signifikansi 0,000 < 0,05. Oleh karena itu, H1 diterima, artinya DAU mempunyai pengaruh secara parsial
dan signifikan terhadap belanja daerah .
Variabel DAK diketahui nilai thitung (-0,562)
lebih kecil daripada ttabel (2,000) atau dapat dilihat dari nilai
signifikansi 0,576 > 0,05. Oleh karena itu, H2 ditolak, artinya DAK tidak mempunyai pengaruh secara parsial
dan signifikan terhadap belanja daerah.
Variabel PAD diketahui nilai thitung (15,675)
lebih besar daripada ttabel (2,000) atau dapat dilihat dari nilai
signifikansi 0,000 < 0,05. Oleh karena itu, H3 diterima, artinya PAD mempunyai pengaruh secara parsial
dan signifikan terhadap belanja daerah .
d.
Uji Koefisien
Determinasi (R2)
Uji
koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur
seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen.
Adapun hasilnya dapat ditunjukkan sebagaimana tercantum dalam tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
.978a
|
.957
|
.956
|
Sumber
data: Data sekunder diolah peneliti, 2015.
Berdasarkan
hasil perhitungan untuk nilai R2 diperoleh dalam analisis regresi
berganda diperoleh angka koefisien determinasi dengan adjusted-R2
sebesar 0,956. Hal ini berarti bahwa 95,6% variasi variabel Belanja daerah dapat dijelaskan oleh variabel DAU, DAK dan
PAD sedangkan sisanya yaitu 4,4% dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model
yang diteliti.
3.
Pembahasan
a.
Pengaruh antara
DAU dengan Belanja Daerah
Variabel DAU
diketahui nilai thitung (22,836) lebih besar daripada ttabel
(2,000) atau dapat dilihat dari nilai signifikansi 0,000 < a = 0,05. Oleh karena itu, H1 diterima, artinya DAU mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan
terhadap belanja daerah . Semakin besar DAU maka semakin besar pula jumlah
belanja pemerintah daerah yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak
daerah masih tergantung dengan dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah belum dapat sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat di dalam
mengatur rumah tangga daerah.
Dari hasil tersebut berarti penelitian ini konsisten
dengan penelitian Windha Amiga Permanasari (2013), Mutiara Maimunah (2006),
Kesit Bambang
Prakoso (2004), dan Nugraeni (2011).
b.
Pengaruh antara
DAK dengan Belanja Daerah
Variabel DAK
diketahui nilai thitung (-0,562) lebih kecil daripada ttabel
(2,000) atau dapat dilihat dari nilai signifikansi 0,576 > a = 0,05. Oleh karena itu, H2 ditolak, artinya DAK tidak mempunyai pengaruh secara parsial dan
signifikan terhadap belanja daerah. Hal ini disebabkan nilai DAK yang diterima
pemerintah daerah digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah. Kegiatan khusus yang dimaksud adalah sesuai dengan fungsi yang
telah ditetapkan oleh APBN. Artinya tidak boleh disalahgunakan/digunakan untuk
kegiatan di luar ketentuan.
Dari hasil
tersebut berarti penelitian ini konsisten dengan penelitian Windha Amiga
Permanasari (2013) dan Nugraeni (2011).
c.
Pengaruh antara
PAD dengan Belanja Daerah
Variabel PAD
diketahui nilai thitung (15,675) lebih besar daripada ttabel
(2,000) atau dapat dilihat dari nilai signifikansi 0,000 < a = 0,05. Oleh karena itu, H3 diterima, artinya PAD mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan
terhadap belanja daerah. Hal ini berarti rata-rata tingkat belanja daerah pada
pemerintah Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah dipengaruhi oleh tingkat PAD,
yaitu sesuai dengan tujuan PAD untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai
dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Dari hasil
tersebut berarti penelitian ini konsisten dengan penelitian Windha Amiga
Permanasari (2013), Kesit Bambang Prakoso (2004), Nugraeni (2011) dan mendukung penelitian
Mutiara Maimunah (2006).
E.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan pada
bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1.
DAU
berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap Belanja Daerah dan memiliki
hubungan positif. hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi yang lebih
kecil dibandingkan dengan level of significant yaitu sebesar 0,000 < 0,05
dan nilai thitung
sebesar
22,836.
2.
DAK
tidak berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap Belanja Daerah dan
memiliki hubungan negatif. hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi yang
lebih besar dibandingkan dengan level of significant yaitu sebesar 0,576 <
0,05 dan nilai thitung
sebesar
-0,562.
3.
PAD
berpengaruh (secara statistik signifikan) terhadap Belanja Daerah dan memiliki
hubungan positif. hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi yang lebih
kecil dibandingkan dengan level of significant yaitu sebesar 0,000 < 0,05
dan nilai thitung
sebesar
15,675.
F. REFERENSI
Rosidin,
Utang. 2012. Otonomi Daerah dan
Desentralisasi. Edisi 1, Pustaka Setia. Bandung.
Muluk,
Khairul. 2006. Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah. Edisi 1, Bayumedia. Malang.
Yuwana,
Sony. Suheiry Zein. dan A.R. Azrafiany. 2008. Memahami APBD dan Permasalahannya. Edisi 1, Bayumedia. Malang.
Kuncoro,
Mudrajad. 2006. Otonomi dan Pembangunan
Daerah. Edisi 2, Erlangga. Jakarta.
Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah).
Undang-undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
IKAPI.
2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 dan Perubahannya Nomor 59 Tahun 2007, Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah Tahun 2008, Fokusmedia. Bandung.
Kesit
Bambang Prakosa. 2004. Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di Wilayah
Propinsi Jawa Tengah dan DIY). Skripsi.
Universitas Islam Indonesia.
Nur
Indriantoro dan Bambang Supomo. 2002. Metode
Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen, Edisi 4, BPFE: Yogyakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Edisi kesepuluh.
CV. Alfabeta. Bandung.
Maimunah,
Mutiara, 2006, “ Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Pulau
Sumatra”. Simposium Nasional Akuntansi 9.
Padang.
Ghozali,
Imam. 2005. Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program SPSS. Edisi 3, Penerbit UNDIP. Semarang.
Halim,
Abdul. 2008. Akuntansi Sektor Publik:
Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi 3. Salemba Empat.
Rasidah.
2011. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi Khusus pada Belanja Daerah Pemerintah Kota di Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Manajemen dan Akuntansi. 10 (1):19-27.
Nugraeni.
2011. ANALISIS PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) DAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP
PREDIKSI BELANJA DAERAH Studi pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jurnal Akmenika UPY. 8 (1):96-117.
Yansen,
steven. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap
Belanja Daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Sumatera Selatan. Skripsi. Universitas Tridinanti
Palembang.
Setiawan,
Anjar. 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Belanja Daerah (Studi Kasus Pada Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Diponegoro.
Kurniawati,
Fransisca Roosiana. 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah
Terhadap Belanja Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten di Indonesia. Tesis. Universitas Sebelas Maret.
Halim,
Abdul, 2008, “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah”, Edisi 3, Penerbit
Salemba Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar